Jumat, 02 Januari 2009

how my baby delivered

Sebenarnya sudah lama kisah ini mau kuceritakan, cuman belum ada waktu dan belum ada kesempatan yang baik.
Kemaren itu, hari Senin 3 November 2008, waktu itu jam 10,15 WIB, aku di kamarku. Perasaanku udah ga enak gitu deh, terus pas dari kamar mandi rasanya pipis ku ga tertahan. Terus pas mau jalan, air itu keluar terus, warnanya kuning jernih, berbau khas. Di situ, aku belum ngeh dah apa “cairan” itu. Ternyata begitu bundaku datang, dia langsung mengklaim bahwa itu adalah cairan ketuban yang pecah. Ya, aku mengalami Ketuban Pecah Dini dengan tiada kontraksi. Karena memang proses persalinan sudah kuharapkan, aku tentu aja tenang dan mulai mempersiapkan diri. Aku mandi terlebih dahulu sampe cuci rambut loh..
Pukul 11.00 WIB aku tiba di Rumah Sakit Sri Ratu, aku berangkat dari rumah dengan kedua mamaku. Suami dan papaku dah dikabarin lebih dulu, katanya mereka bakal menyusulku ke sana. Dokter datang tepat pada waktunya setelah aku diklisma (mm, masih ada rupanya yang di-klisma)…Setelah pemeriksaan dalam itu, beliau bilang kalau aku mesti dioperasi. Kenapa? Karena pembukaan masih 1 cm, tetapi kepala anakku masih floating (buat yang kurang ngerti dingertiin aja). Beliau dan mamaku menelpon suamiku, untuk membilang keputusan untuk seksio sesarea tersebut. Dan suamiku berpasrah diri sambil bilang terserah yang mana yang terbaik supaya itulah yang dibuat. Begitu hal itu diceritakan kepadaku, aku kurang setuju, dari awal aku berniat untuk melahirkan secara normal, itu sudah kami doakan dan harapkan selama 9 bulan kandunganku. Tetapi bila mendengar argument dokter tersebut, aku jelas mengerti decision point nya. Akupun mulai pasrah dan berserah tetapi aku mohon supaya operasi menunggu kedatangan suamiku dari TNB.
Pukul 13.00 suamiku datang dengan senyum yang mencerahkan hatiku. Waktu itu operasi akan dilaksanakan, tetapi, waktu dilakukan pemeriksaan dalam ternyata sudah terjadi pembukaan 5 cm dan kepala anakku sudah turun. Oh gosh, tentu aja hal ini sangat menggembirakan hati kami semua.
Pukul 15.00, pembukaan lengkap, mami dah keluar dari ruang VK, ga tahan ngeliat aku mengedan, hanya bundaku dan suamiku yang di sisiku. Jangan ditanya bagaimana rasanya, luar biasa, sakit sekali, aku diajarin cara mengedan. Dan tahukah, waktu itu aku berjanji untuk memperlakukan pasienku dengan lebih lembut lagi.
Pukul 15.45 WIB, anakku lahir, dia lahir sehat sekali, tangisannya menghilangkan semua rasa sakitku, dia lahir dengan berat badan 3650 gr dan 49 cm. Aku benar2 bersyukur anakku terlahir sehat tanpa kurang suatu apa pun.
Setelah itu mulailah terjadi serangkaian peristiwa tersebut. Teryata perdarahan banyak sekali, dugaan atonia muali ditegakkan, drip oksitosin pun dijalankan, massase, sampai kompresi bimanual interna. Aku ga diperbolehkan melihat darah yang keluar itu. Bukan kontraksi ku yang bermasalah, rupanya ujung luka ga terjahit, dari sanalah darah mengalir deras.
Lebih dari 2 jam aku di-eksplorasi di VK, akhirnya semua menyerah, akupun didorong ke OK untuk dibius. Penjahitan jalan lahir itu berlangsung di OK selama 1 jam. Aku dibius ketalar. Selama proses penjahitan itu aku tertidur.
Begitu terbangun, semua sudah beres, hanya saja Hb ku 5. Mukaku pucat sekali. Tanganku udah putih, akhirnya aku diputuskan untuk transfusi. Megingat golongan darahku yang langka, aku benar2 bersyukur buat mereka yang menyumbangkan darahnya ke dalam tubuhku. Teman2ku inilah yang telah menyelamatkan jiwaku, mulai dari mami ariq, bos Riza, dan beberapa lain yang secara jujur tidak kukenal langsung tapi turut menyumabangkan darahnya.
Efek transfusi itu ternyata berakibat ke hati dan ginjal ku. Aku mengalami oedem anasarka, D-dimer ku naik, rasanya sebagai manusia yang mengetahui hal yang berlangsung di diriku, kuakui aku sangat takut dan khawatir. Bayangan akan terjadinya DIC sangat menghantuiku. Asam lambungku naik dan aku mengalami sesak nafas. Aku dilarikan ke rumah sakit lain pukul 19.00 wib malam, anakku ditinggalkan di sana.
Setelah dirawat beberapa hari aku pulang dengan keadaan yang masih mengkhawatirkan tapi aku dah ga mau lagi opname, terlalu sakit kurasa sewaktu darah diambil dan infus berjalan.

Kejadian sesungguhnya baru terjadi hari ke-17. waktu itu aku sempat heran, kenapa lochia ku masih merah darah, dan banyak volumenya. Waktu semakin banyak, aku kembali ke rumah sakit tadi. Dokter bilang aku mesti dirawat dan karena aku keras kepala, aku ga mau dirawat, aku mau pulang.

Waktu di rumah, darah semakin banyak, tidak mau berhenti, berkali-kali aku ganti pembalut sampai aku tidak menggunakan pembalut lagi tapi memakai sarung. Sampai sekarang aku masih belum berani memakai sprei yang terkena darahku itu. Ngeri mengingatnya.
Kami memutuskan untuk kembali ke Rumah Sakit, di situlah penglihatanku mulai pitam, sekelilingku terasa gelap, kaki tanganku dingin, aku takut, aku benar benar takut. Jikalau inilah maut, jikalau inilah saatnya, aku belum siap mati. Anakku masih kecil, aku belum berbuat apa2 buat orang yang kukasihi.
Mamaku dah panik karena pols ku lemah sekali, keringat dingin mulai membanjiri tubuhku yang mana aku sendiri ga sadar bahwa aku sedang berkeringat.
Kejadian berikutnya kurasa gausah kuceritakan karena aku masih hidup sampai sekarang. Tapi kalau ingat waktu itu, saat aku terduduk lemas di kamar mandi, saat mamaku terduduk di genangan darahku, saat aku dipapah turun tangga, aku benar2 bersyukur aku masih hidup sampai saat ini.
Aku berterimakasih buat semua orang yang telah menopang aku, buat anakku tersayang, kaulah sumber kekuatanku, suamiku tercinta dan orang tuaku terkasih. Aku sangat menyayangi semua.
Sekarang aku dah sehat, anakku pun sehat, terkadang aku mengingat waktu itu, dan perasaanku masih sama....

Ah. Buat apa mengingat waktu itu, biarlah itu menjadi saat2 yang memperkaya pengalamanku dan membuatku waspada untuk dapat mengantisipasi kemungkinan itu terjadi.
Tapi kuharap itu ga terjadi lagi.

Semoga..

Aku yakin kok...